Membincang tentang perempuan selalu menarik, baik dari sisi asal-usul penciptaan mereka, posisi mereka dalam sejarah, pergeseran tentang peran mereka atau pun urusan tempat mereka di area domestik ataupun publik. Di antara isu yang masih terus diperjuangkan adalah tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, kondisi ini masih sering terjadi disebagian sector diantara skup yang paling kecil adalah pengambilan keputusan di sector desa, walaupun tidak semua desa menempatkan laki-laki yang mempunyai power tetapi ada desa yang masih enggan melibatkan perempuan untuk duduk dan berdiri setara dengan mereka, disini kebijakan perlu ada sentuhan untuk menyetarakan tetapi secara umum seiring berjalannya waktu kedudukan perempuan dalam hukum Islam mempunyai tempat cukup tinggi, Islam datang membawa rahmat diantaranya untuk menghapus diskriminasi antara laki-laki dan perempuan yang terjadi pada zaman jahiliyah sehingga menjadi setara sesuai kodratnya.
Persoalan penyetaraan sepertinya sudah menjadi perhatian agama, negara bahkan dunia salah satunya adalah ditegaskan dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination af All Forms of Discrimination against Women) atau CEDAW yang ditetapkan pada 18 Desember 1979. Selanjutnya, Indonesia meratifikasi konvensi tersebut ke dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1984 sebagai penegasan agar terwujudnya persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia dengan menghapus praktek diskriminasi yang menghambat kemajuan perempuan.
Dilain hal, yang paling penting adalah pilihan perempuan itu sendiri untuk menyetarakan diri mereka dengan laki-laki, karena ini adalah pilihan Ketika perempuan dihadapkan pada dua peran baik domestic sekaligus publik pasti menyisakan persoalan, yaitu akan terbengkalainya mereka memerankan itu sendiri jika tidak ada partner yang mau berjalan seiiring dalam melakukan peran itu. Aspek psikis dan psikologis mereka tentu akan bersinergi satu sama lain, psikis yang capek maka akan mempengaruhi psikologi mereka yang labil, walaupun berat menjalani peran ganda tersebut, kondisi dilingkungan kita sangat banyak kondisi tersebut, yaitu perempuan yang mengambil multi peran yaitu domestic dan publik sekaligus, karena tidak bisa dipungkiri bahwa Ketika perempuan mengambil keputusan untuk bergeser ke publik ada dua hal yang menjadi motif yaitu pertama karena untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarga yang dirasa tidak memadai, kedua untuk mengaktualisasikan diri dan bisa mempunyai komunitas untuk mengembangkan dirinya.
Sementara partisipasi perempuan di ranah publik bisa dilakukan disektor pemerintaha, pengasuhan dan Pendidikan, atau kepemimpinan sebagaimana yang dilakukan laki-laki. Dalam al-Quran ada banyak ayat yang sudah menjelaskan tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan ataupun legalisasi partisipasi perempuan di ranah publik, diantaranya Hal ini dijelaskan pada QS Hujurat:13[1]
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
di ayat tersebut Allah mempertegas bahwa diciptakannya laki-laki dan perempuan adalah untuk saling mengenal. artinya bahwa Allah tidak membedakan berdasarkan jenis kelamin dalam hal apapun, karena yang membedakan adalah ketaqwaanya
karena Allah tidak membedakan berdasarkan jenis kelamin, Allah mempertegas kembali bahwa perempuan juga boleh mengambil peran di ranah publik, baik bekerja atau berpartisipasi di masyarakat, yaitu QS Dalam Qs al Nur: 31[2]
وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا لِبُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اٰبَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اٰبَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اَخَوٰتِهِنَّ اَوْ نِسَاۤىِٕهِنَّ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُنَّ اَوِ التّٰبِعِيْنَ غَيْرِ اُولِى الْاِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ اَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلٰى عَوْرٰتِ النِّسَاۤءِ ۖوَلَا يَضْرِبْنَ بِاَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّۗ وَتُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Di ayat di atas perempuan yang bergerak diranah publik tidak lain adalah ingin menyejahterakan keluarga, juga mengaktualisasikan diri agar bermanfaat di masyarakat dan bangsa. Wanita berperan di ranah publik merupakan wanita yang menekuni sesuatu atau beberapa pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian tertentu yang dimilikinya untuk mencapai suatu kemajuan dalam hidup, pekerjaan atau jabatan.
Menurut Omas Ihromi, perempuan yang bekerja adalah mereka yang melakukan pekerjaan dan mendapatkan uang, walaupun uangnya tidak diterima secara langsung. Suatu pekerjaan tidak selalu bergabung atau bergantung dengan orang lain, namun bekerja sendiri dan hasil kerjanya menghsilkan uang.[3]
Meskipun legalisasi itu ada, yang harus dijaga dari perempuan adalah daya tahan mereka memerankan peran ganda, karena mereka harus mengantisipasi jiwa mereka agar tetap stabil menjalani multi peran, karena Ketika perempuan yang sudah mengambil keputusan di ranah publik itu pasti akan mendompleng di dalamnya peran domestic, karena jiwa perempuan mayoritas tidak mungkin hanya berfikir pekerjaan contohnya tetapi tetap memikirkan ‘area wingking’ atau urusan rumah bisa tentang pengurusan anak, memasak, membersihkan rumah dan yang lain. Akhirnya jalan yang biasa diambil perempuan untuk menyeimbangi keduanya adalah dengan memerankan orang lain untuk membantu pekerjaan mereka alias ART, hal ini juga sebenarnya bukan solusi tetapi meminimalisasi beban mereka.
*Opini ini ditulis oleh Siti Fahima, MA. Dosen Ilmu al-Qur’an dan Tafsir IAI Tarbiyatut Tholabah
[1] Kementerian Agama Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahannya (Jakarta: Kemenag RI, 2017),517
[2] Kementerian Agama Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahannya (Jakarta: Kemenag RI, 2017),353.
[3] Omas Ihromi, Wanita Bekerja dan Masalah-masalahnya, dalamToety Hearty Nurhadi dan Aida Fitalaya S. Hubeis (editor), Dinamika Wanita Indonesia seri 01: Multidimensional, Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita, Jakarta, 1990, 38.