Setelah beberapa pekan lalu sempat menjadi pergunjingan netizen, tagar #PercumaLaporPolisi kembali mencuat di sosial media. Tagar tersebut adalah bentuk sindiran terhadap lembaga kepolisian yang dianggap kurang cepat merespon aduan dari masyarakat. Salah satu dari munculnya tagar tersebut karena viralnya penanganan kasus kekerasan seksual anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Dalam satu kasus tersebut, polisi menyatakan bahwa setelah melakukan pengecekan tidak mendapati ada laporan terkait kasus tersebut, sedangkan di sisi lain korban mengaku sudah melapor dan belum diproses sampai kasusnya viral. Walaupun begitu, ini bisa menjadi bukti bahwa suatu laporan kasus hukum di kepolisian tidak selalu berjalan cepat dan mulus prosesnya, karena ini terjadi tidak hanya pada kasus tersebut.

Dari proses yang ada sampai ke tahap penyidikan memang terlihat cukup mudah, tetapi permasalahan yang sering terjadi adalah waktu proses masing-masing tahap tidaklah cepat. Alasan yang sering menjadi penyebab lamanya proses adalah bukti yang ada tidak cukup kuat.

Dalam hukum di Indonesia tidak ada aturan mengenai berapa lama proses di kepolisian harus selesai dan inilah yang kemudian menjadi keresahan bagi masyarakat untuk membuat laporan ke kepolisian. Ditambah sudah menjadi rahasia umum jika ada oknum-oknum kepolisian menawarkan jika laporan ingin diproses secara cepat maka perlu ada uang jasa dengan jumlah tertentu.

Pada tahap penyelidikan sama sekali tidak dibatasi oleh waktu kapan proses penyelidikan harus selesai. Berbeda dengan tahap penyidikan, berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana disebutkan bahwa waktu penyelesaian penyidikan dihitung berdasarkan bobot perkara. Tingkat kesulitan penyidikan perkara dibagi menjadi perkara mudah, perkara sedang, perkara sulit, dan perkara sangat sulit.

Tetapi pada peraturan tersebut tidak disebutkan secara pasti berapa lama proses penyidikan itu berlangsung dan tergantung dari penilaian subjektif kepolisian tanpa ada konsekuensi yang berarti bagi kepolisian jika proses sudah melewati batas waktu yang ada. Melihat hal ini, maka muncullah fenomena masyarakat atau bahkan korban membuat “aduan” di media sosial yang ternyata memberi impact yang luar biasa hingga pada akhirnya kepolisian bergerak untuk memproses kasus yang ada.

Hal inilah yang jika kita lihat fenomena media sosial digunakan sebagai sarana untuk melakukan “aduan” tindak pidana, maka sosial media berhasil menggerakkan para pengguna untuk melakukan suatu tindakan secara collective. Pada akhirnya media sosial menjadi saluran yang efektif bagi masyarakat untuk melakukan “aduan” terhadap kasus pidana yang mereka alami. Walaupun memang tidak mudah bagi korban untuk mengungkapkannya di media sosial, tetapi ini menjadi cara yang terbukti efektif untuk mendorong kepolisian memproses kasus yang terjadi.

Walaupun begitu tetap bahwa kepolisian seharusnya lebih responsif terhadap kasus pidana yang dilaporkan dan tidak harus menunggu kasus tersebut ramai di media sosial. Selain itu Kapolri tentunya juga perlu membuat aturan yang jelas mengenai batas waktu dalam memproses suatu laporan agar ada kepastian bagi masyarakat dan masyarakat tidak segan untuk melapor kasus-kasus pidana yang mereka alami sekalipun bukanlah sebuah kasus yang besar.

Penulis; Ahmad Masyhadi, M.HI

Editor; Intihaul Khiyaroh, M.A