Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memicu pula perkembangan peradaban manusia di bumi. Kemudahan dan kenyamanan dapat dinikmati oleh masyarakat dari berbagai kalangan. Konsumsi masyarakat pun meningkat secara tajam tidak hanya pada kebutuhan primer saja melainkan sampai pada kebutuhan skunder dan tersier. Akibatnya, terjadi penumpukan volume sampah sebagi residu dari aktifitas manusia yang sangat tinggi. Baik sampah organic maupun anorganik. Pada dasarnya, sampah akan menjadi berkah jika dikelola dengan baik secara individu maupun kelompok. Sebaliknya, rendahnya kesadaran masyarakat untuk memilah sampahnya, akan menimbulkan masalah yang tidak sederhana seperti timbulnya bau tidak sedap yang menimbulkan ketidaknyamanan, berkembangnya mikroorganisme pathogen bahkan memicu terjadinya konflik sosial antar warga masyarakat (pernah terjadi di wilayah Paciran beberapa tahun yang lalu). Secara ekologis, penumpukan sampah organic di alam akan memicu emisi gas metana yang dapat memperburuk kondisi lapisan ozon. Global warming bukan lagi merupakan ancaman melainkan sudah terjadi saat ini yang dampaknya sudah kita rasakan. Tidak dapat dinafikan lagi, bahwa salah satu pemicu fenomena tersebut adalah dari penumpukan sampah yang terjadi dimana-mana. Jika hal ini terus berlangsung, maka bencana iklim akan sangat sulit dihindari.
Bencana iklim dapat dicegah dengan implementasi gaya hidup berkelanjutan (sustainable lifestyle). Yakni menjalankan hidup saat ini dengan kesadaran dan berpikir jangka panjang dikarenakan setiap tindakan yang kita lakukan memiliki dampak pada lingkungan dan orang lain. Sedangkan alam ini tidak hanya untuk manusia sekarang, melainkan ada anak cucu yang juga harus hidup dan lestari di bumi. Gaya hidup berkelanjutan tercermin pada produk, perilaku, dan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan tanpa mengurangi dan mengubah akses sumber daya untuk generasi masa depan. Gaya hidup seperti ini dapat dimulai dari langkah sederhana dari tingkatan yang paling kecil yakni diri sendiri dan keluarga. Salah satunya adalah dengan memilah sampah dan mengolahnya untuk berbagai kebutuhan manusia dengan program 3R (Reduce, Reuse, Recycle).
Eco enzyme merupakan sebuah penemuan besar yang sangat berjasa dari seorang ahli pertanian di Thailand yakni Dr. Rosukon poompanvong. Setelah melalui fase riset yang cukup panjang (30 tahun) Dr. Rosukon menemukan sebuah formula pengolahan sampah organic dari kulit buah dan sisa sayuran menjadi larutan ajaib multimanfaat yang disebut sebagai Eco enzyme. Enzim merupakan senyawa kimia yang memiliki tingkat degradasi tinggi dengan waktu yang lebih cepat. Karenanya secara alami, enzim memiliki peranan yang sangat penting dalam membantu berbagai reaksi di alam termasuk di dalam tubuh manusia. Selain sebagai katalisator, eco enzyme juga dapat berfungsi dalam proses dekomposisi (decompose), pembuatan (compose), dan perubahan (transform). Itulah mengapa eco enzyme sering dikenal sebagai larutan ajaib yakni bahwa eco enzyme dapat diaplikasikan tidak hanya untuk berbagai kebutuhan manusia melainkan juga untuk kelestarian alam.
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari aplikasi eco enzyme diantaranya: 1) Personal Care: untuk erawatan tubuh: mandi, sikat gigi, perawatan wajah, detok tubuh bahkan dapat membantu mengatasi penyakit yang awalnya dianggap sebagai kemustahilan. 2)Pertanian: sebagai pupuk dan pestisida alami yang sangat minim akumulasi dan dampaknya bagi kesehatan manusia. 3)Peternakan: Mencegah dan mengatasi penyakit pada hewan ternak. 4)Bioremidiasi: menguraikan zat pencemar yang masuk ke lingkungan baik di darat, air maupun udara.
Selain itu, pada awal proses pembuatan eco enzyme, diklaim terjadi pelepasan gas ozon (O3) di atmosfer yang dapat mengurangi karbondioksida (CO2) di udara sehingga dapat mengurangi efek rumah kaca dan pemanasan global. Inilah yang dapat menyumbang kelestarian alam agar tetap berkelanjutan.
Menariknya, eco enzyme dapat dibuat dengan sangat mudah oleh siapapun dan dimanapun. Caranya, sampah organik dari kulit buah dan sayur dicuci bersih kemudian dimasukkan ke dalam wadah tertutup yang sudah berisi larutan air dan gula (gula merah kelapa, gula aren, atau gula molase tebu). Setelah semua bahan tercampur, tutup rapat wadah dan biarkan terjadi fermentasi secara anaerob selama 90 hari (minimal). Formula komposisi bahannya adalah 1:3:10 yakni 1 bagian gula, 3 bagian bahan organik dan 10 bagian air. Setelah 3 bulan, eco enzyme dapat dipanen dengan cara memisahkan larutan dari ampasnya. Larutan hasil penyaringan tersebut dapat diaplikasikan untuk berbagai kebutuhan dengan aturan dosis tertentu sesuai kebutuhan.
Sangat mudah dan multimanfaat bukan, lalu mengapa masih ragu untuk membuat eco enzyme?
Mari membuat eco enzyme untuk masa depan bumi.
*Opini ini ditulis oleh Mazrikhatul Miah, M.Pd.Si. dosen PGMI IAI Tarbiyatut Tholabah