Ayah ASI, Pahlawan Ibu dan Bayi*

by | Aug 23, 2022 | Opini

Menyusui adalah kemampuan kodrati yang dimiliki perempuan disamping kemampuan hamil dan melahirkan. Allah SWT telah memberikan sepaket alat reproduksi yang membuat perempuan mampu hamil, melahirkan dan menyusui. Sepaket alat reproduksi itu yakni rahim, vagina dan payudara. Laki-laki tidak memiliki ketiganya sehingga laki-laki secara kodrati tidak memilki kemampuan hamil, melahirkan dan menyusui.  Laki-laki memiliki alat reproduksi yang berbeda yang tidak dimiliki perempuan. Namun demikian, tidak ada seorangpun yang dapat memungkiri bahwa tidak dapat seorang manusia lahir ke dunia tanpa didahului hubungan intim laki-laki dan perempuan.

Bahkan perintah menyusui jelas ditegaskan dalam Al Quran, yakni pada Surat Al Baqarah ayat 233, “Para Ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.”

Namun demikian, persentase praktek pemberian ASI ekslusif baik di tingkat lokal, nasional maupun global masih memprihatinkan. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, Indonesia seharusnya memiliki angka persentase pemberian ASI ekslusif yang tinggi. Hal ini dikarenakan seruan memberikan ASI yang disampaikan dalam Al Qur’an Surah 2:233 memberikan panduan yang jelas mengenai pemberian ASI, bahkan hingga 2 tahun, melebihi dari rekomendasi UNICEF pemberian ASI yang hanya 6 bulan.

Hasil penelusuran pustaka yang merangkum data penyebab rendahnya praktek pemberian ASI,  diketahui bahwa penyebab persentase pemberian ASI ekslusif yang rendah dapat dibagi atas dua bagian besar yaitu faktor internal yang menyangkut sebab yang terkait langsung dengan ibu dan anak dan faktor eksternal yang berkaitan dengan masalah yang tidak berkaitan langsung dengan ibu dan anak.[1] Faktor internal diantaranya ibu yang tidak cukup makanan bergizi sehingga mengurangi produksi ASI, tidak percaya diri dengan kualitas dan kuantitas ASI, terhalang melakukan IMD (Inisasi Menyusui Dini), ibu bekerja yang tidak sempat memberikan ASI, serta rendahnya edukasi yang dimiliki ibu akan manfaat dan keutamaan ASI.

Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor apapun selain bersumber langsung pada ibu dan bayi yang mencegah bayi untuk mendapatkan ASI mereka dalam 6 bulan awal hidup mereka. Faktor ini meliputi mulai dari masalah keluarga hingga keterlibatan pemerintah.

Peran keluarga tampak misalnya dalam upaya mendorong proses Inisiasi Menyusui Dini. Keluarga, khususnya ayah sang bayi adalah orang utama yang berhak mendorong tenaga medis memberi kesempatan ibu bayi memberikan ASI. 

Namun, angka inisiasi ASI dini cukup memprihatinkan. Keterlibatan ayah adalah salah satu faktor kunci dalam mendukung praktek menyusui. Kehadiran dari apa yang disebut “hubungan triadic” yang melibatkan ibu, bayi dan ayah dalam menyusui. Selain memainkan peran untuk memenuhi gizi ibu selama dan setelah kehamilan, ayah juga dapat mendukung keputusan ibu untuk menyusui. Sayangnya, aspek ini tidak banyak mendapat perhatian dalam konteks Indonesia.[2]

Faktor lain yang masuk kategori faktor eksternal adalah gencarnya iklan susu formula di berbagai media massa serta kurangnya perhatian pemerintah. ASI eksklusif yang dikampanyekan pemerintah masih sebatas mengkampanyekan manfaat ASI, belum kepada anjuran ketaatan pada perintah Allah sebagaimana dalam QS Al Baqarah ayat 233 agar ibu menyusui bayinya hingga 2 tahun pertama kelahirannya.

ASI dan menyusui bukan hanya kewajiban ibu tapi juga kewajiban ayah, masyarakat dan negara untuk mendukung kesuksesannya. Hal yang paling dasar dari tanggung jawab ayah dan ibu kepada si buah hati yang baru lahir ke dunia yaitu adalah mendukung program pemerintah dalam menghasilkan generasi muda yang berkualitas, salah satunya adalah pemberian ASI yang akan berlangsung selama dua tahundengan dukungan dari AYAH ASI.

 Istilah Ayah ASI telah lama dipopulerkan para konselor dan pejuang ASI, baik laki-laki maupun perempuan. Ayah ASI adalah seorang lelaki yang kini statusnya sudah berubah menjadi Ayah, kemudian ia begitu peduli kepada anak dan istrinya sehingga turut serta mendukung keberhasilan pemberian ASI ekslusif hingga 6 bulan pasca kelahiran, dan sampai tiba waktunya penyapihan (proses berhentinya anak menyusu kepada ibunya) pada usia bayi 2 tahun.

Sekumpulan pria yang terdiri dari artis, public figure, dan pengusaha menginisiasi pendirian AyahASI.org. AyahASI adalah sebuah gerakan sosial untuk meningkatkan keterlibatan para Ayah dalam mendukung istri agar sukses menyusui. Gerakan yang diinisiasi oleh Ernest Prakasa dkk resmi didirikan pada tanggal 25 April 2011 dan telah memiliki puluhan cabang se-Nusantara. Sebagi bentuk kepeduliannya, Ayahasi.org meluncurkan modul pelatihan kelas ayahASI yang merupakan kerjasama Unicef Indonesia dan AyahASI Indonesia. Modul berisi tentang bagaimana seorang keterlibatan seorang ayah menjelang persalinan istri serta langkah-langkah efektif mensukseskan IMD (Inisiasi Menyusui DIni) dan 6 bulan ASI Eksklusif.

Peran dan keterlibatan laki-laki dalam kesuksesan menyusui juga mendapat perhatian DPR. Lewat RUU KIA (Kesejahteraan Ibu dan Anak), DPR menggagas cuti 40 hari bagi laki-laki saat istrinya melahirkan. Meskipun realisasinya cuti tersebut lebih sering hanya diberikan dua hari oleh perusahaan.

Paternity leave (cuti mendampingi istri melahirkan dan menyusui bagi laki-laki) sebelumnya sudah telah dipopulerkan sejumlah negara. Seperti di kutip dari laman Businessinder.com (13/3/2018), Swedia dan Islandia memberikan cuti 90 hari kepada para suami saat istrinya melahirkan agar dapat memberi perhatian lebih pada istri dan bayinya. Pada saat cuti, perusahaan wajib memberikan 80% gajinya. Sementara di Slovenia, para suami berhak cuti 90 hari dengan gaji 100% di 15 hari pertama dan gaji 75% di hari-hari berikutnya. Sedangkan di Finlandia, para ayahASI berhak mendapat cuti selama 8 minggu.

Dukungan “Ayah ASI” sangat diperlukan bagi ibu pejuang ASI ekslusif. Apalagi jika suami terlibat dalam kegiatan ini, istri akan merasa senang apabila suami dapat membantu mengurangi sedikit keluhan yang dialami istri. Kesenangan inilah yang membawa dampak positif terhadap kelancaran ibu memberikan ASI kepada sikecil, sebab akan memperlancar aliran darah dari tubuh ibu dan hormon prolaktin yang memproduksi ASI.

Meskipun pemerintah lewat Dinas Kesehatan dengan gencar mengkampanyekan ASI Eksklusif 6 bulan, tidak sedikit ditemukan kasus ibu yang enggan menyusui bayinya dengan berbagai alasan. Bahkan terdapat sejumlah kasus baby blues, keadaan di mana seorang ibu mengalami perasaan tidak nyaman setelah persalinan, yang berkaitan dengan hubungannya dengan si bayi, atau pun dengan dirinya sendiri. Dalam literasi lain disebutkan Baby Blues adalah depresi ringan yang terjadi pada ibu-ibu dalam masa beberapa jam setelah melahirkan,sampai beberapa hari setelah melahirkan, dan kemudian dia akan hilang dengan sendirinya jika diberikan pelayanan psikologis yang baik.[3]Seorang ibu yang mengalami baby blues tiba-tiba merasa cemas dan takut yang berlebihan akan berbuat jahat pada bayinya lantaran tidak tahu harus bagaimana ketika dihadapkan pada bayi baru lahir.

Dalam ilmu laktasi, aktivitas menyusui langsung dapat signifikan mengurangi resiko ibu terkena baby blues dan gejala lanjutannya. Hal ini terjadi karena saat menyusui langsung, secara ilmiah terjadi pelepasan hormon-hormon ASI yang juga membantu melepaskan hormon anti stres, anti nyeri dan memberikan sensai relaksasi yang membuat ibu merasa tenang dan nyaman.

Dalam kaitannya dengan ayat ASI yakni QS Al Baqarah 233, “Dan kewajiban Ayah dan Ibu”, bukan “Suami dan Istri”, karena memang peran ayah sangatlah penting sebagai booster (pendorong) sehingga Ibu selalu bahagia dan hak ASI bayi terpenuhi. Jelas bahwa peran ini perlu senantiasa dijaga dan dirawat sejak ibu hamil, melahirkan hingga menyusui. Disinilah peran ayah ASI sesungguhnya.

Sebuah jurnal kesehatan menyebutkan pengaruh ayah ikut andil dalam baby blues atau  postpartum blues. Dukungan suami sedang, 77% ibu mengalami babyblues, 23% tidak mengalami babyblues. Sedangkan jika dukungan ayah tinggi, 31% ibu mengalami babyblues, dan 69% tidak mengalami babyblues. Artinya dukungan suami, mengurangi persentase jumlah ibu yang mengalami babyblues. Semakin tinggi dukungan suami, semakin berkurang resiko babyblues.[4] Kegagalan komunikasi suami istri dalam menjalani peran sebagai ibu dan ayah sang bayi dapat berdampak bayi tidak mendapat haknya, salah satu hak yang paling dasar itu adalah hak ASI.

*opini oleh Musrifah, M. Med. Kom.


[1] dr. Nurhira Abdul Kadir, MPH, . 2014. “Menelusuri Akar Masalah Rendahnya Persentase Pemberian Asi Eksklusif Di Indonesia” Jurnal Al Hikmah Vol. XV Nomor 1. Fakultas Ilmu Kesehatan, UIN Alauddin Makassar)

[2] idem

[3] Suryati. “The Baby Blues and Postanal Depression.2008.  Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol.2 No.2. Fakultas Kesehatan Universitas Andalas.

[4] Fatmawati, Diah Ayu. 2015. “Faktor Resiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Postpartum Blues”. Jurnal EduHealth Vol.5 No.2. Fak. Ilmu Kesehatan, Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum Jombang.