Inklusifitas Pendidikan Moderasi Beragama dan Kemerdekaan Republik Indonesia

by | Aug 20, 2022 | Opini

Alhamdulillah saat ini bangsa Indonesia telah menikmati masa kemerdekaan yang ke 77, hal ini tentunya tidak lepas dari peran serta para Ulama. Belum banyak yang tau jika penentuan hari kemerdekaan adalah merupakan hasil isthikharah para ulama (Hadrasatus syaih KH Hasyim As’ary). Catatan Aguk Irawan MN dalam Sang Penakluk Badai: Biografi KH Hasyim Asy’ari (2012) yang menyatakan bahwa awal Ramadhan, bertepatan dengan tanggal 8 Agustus, utusan Bung Karno datang menemui KH. Hasyim Asy’ari untuk menanyakan hasil istikharah para kiai, sebaiknya tanggal dan hari apa memproklamirkan kemerdekaan? Dipilihlah hari Jumat (sayyidul ayyam) tanggal 9 Ramadhan (sayyidus syuhur) 1364 H tepat 17 Agustus 1945 (www.nu.or.id/fragmen/kh-hasyim-asyari-tentukan-proklamasi-kemerdekaan-ri), tak salah jika kemudian saat tentara sekutu NICA kembali untuk merebut kemerdekaan Indonesia, maka para ulama mengeluarkan resolusi jihad untuk mempertahankan kemerdekaan, sehingga tercetuslah hari santri dan pahlawan.

Terlepas dari jasa para ulama highlight dari kemerdekaan Indonesia adalah merupakan rahmat Allah SWT bagi bangsa Indonesia, bangsa yang memiliki beraneka ragam suku, ras, agama, dan budaya bisa bersatu padu dalam bingkai bhineka tunggal ika untuk indonesia yang pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat. Akan sangat keterlaluan jika generasi saat ini jika tidak bisa merawat apa yang sudah diwariskan oleh para pejuang dan ulama, maka dengan apa kita mengisi kemerdekaan yang dibangun dengan kebhinekaan tersebut? Arah pembangunan sumberdaya manusia oleh pemerintah telah ditegaskan dengan meng-arusutamakan moderasi beragama sebagai modal dasar dalam menjaga NKRI, di tengah derasnya arus globalisasi dan tehnologi.

Pendidikan Agama adalah kunci dalam menyebarkan moderasi beragama, hampir dalam setiap konflik yang mengemuka selalu agama menjadi sasaran, sehingga masyarakat dibuat ambigu dengan kondisi antara takut dan benci dalam memahami persoalan yang ada. Tugas bagi kaum pendidikan adalah menerjemahkan konsep moderasi pada tehnis implementasi dalam masyarakat,  karena kekurangfahaman masyarakat tentang agama, apalagi era medsos saat ini masyarakat hanya menerima dan menyebar tanpa mengetahui kejelasan sumber, semakin membuat runyam masalah yang ada.

Maka tidak salah jika dalam pendidikan nasional saat ini mengeluarakan kebijakan tentang asesmen yang bermuara pada kompetensi  literasi dan numerasi, lalu kebijakan tentang kurikulum merdeka yang sebenarnya adalah dalam rangka untuk membentuk pelajar-pelajar  yang memahami dan mengimplemantasi nilai-nilai pancasila.  Yang sebenarnya apa yang dikonsep dalam kurikulum merdeka sudah lama dilakukan oleh pondok-pondok pesantren, utamanya yang berafiliasi kepada NU.

Pendalaman literasi kitab kuning sebagai produk yang genuine oleh para ulama klasik dengan berbagai latar belakang, sebagai pihak yang paling kompeten dalam menterjemahkan agama dalam kehidupan, adalah modal dasar dalam memahami agama sebagai panduang hidup, pola kehidupan inklusif yang mengedepankan pola relasi (ahlak) dan ilmu sebagai penuntun dalam setiap persoalan, pendidikan kesetaraan dan kemandirian sudah menjadi kurikulum sejak lama dalam pesantren.

Konsep tawasuth, tawazun, i’tidal dan tasamuh yang merupakan ciri ahlusunnah wal jama’ah perlu di ejawantahkan dalam indikator yang real yang  mudah difahami, lalu diterapkan dalam kehidupan nyata agar diketahui kekurangan dan kelebihan masing-masing indikasi, karena bisa jadi berbeda kondisi berbeda hasil, terpenting lagi bahwa indokator-indokator yang ada harus fleksibel dan otokritik. Akhirnya hanya dengan terus berupaya mengimplementasikan pola pikir moderasi dalam beragama maka inklusifitas keberagaaman akan tercipta, mulai dari pribadi bukan menunggu atau bahkan menyalahkan.

By: Dr. Raihan, M.Pd