Pandangan sebagian masyarakat yang masih memberikan tanda sama, tidak memiliki nilai ekonomis bahkan lebih ekstrim pada duplikasi antara bank syariah dari bank konvensional menjadi semacam stigma negatif dari bank syariah. Data lapangan bisa dilihat dari prosentase marketshare keuangan syariah yang total asetnya pada tahun 2021 masih 9,96 %, atau setara Rp 1.836 triliun. Hal ini juga dapat dibaca bahwa masyarakat belum sepenuhnya menjadikan produk syariah menjadi pilihan dalam mendukung operasional ekonomi. Upaya Pemerintah dalam menggabungkan 3 perbankan syariah menjadi Bank Syariah Indonesia dan menginginkan Indonesia Menjadi Pusat Keuangan Syariah di Dunia ternyata masih belum berbanding dengan persepsi masyarakat terhadap bank Syariah.
Penulis melihat persepsi masyarakat muslim terhadap bank syariah menjadi persoalan mendasar yang yang kalah cepat penyelesaiannya dengan pengembangan produk keuangan syariah. Maraknya BMT, UUS, Pasar Modal Syariah dan prodi Ekonomi Syariah di perguruan tinggi akan kontraproduktif kalau persepsi stakeholdernya tidak tergarap bersama. Di sini, persoalan persepsi juga bisa diakibatkan oleh pemahaman terminologis di antara, Ekonomi, Ekonomi Islam, Ekonomi Syariah dan Iqtishoduna. problem paradigma juga berpengaruh pada ontology, epistemologi dan Aksiologis ekonomi Islam itu sendiri. Kesadaran bacaan bahwa industri keuangan Syariah adalah salah satu tools dalam mencapai tujuan ekonomi Islam ( falaah ) bukan inti dari ekonomi Islam harus disegerakan dalam rangka membangun pemahaman yang komprehensif bukan partial apalagi artifisial.
Dalam konteks klasifikasi bacaan terhadap ekonomi Islam, kita bisa melihat pandangan umat Islam terhadap ekonomi Islam. Di sini, kita bisa memberikan klasifikasi tiga kelompok besar bagaimana mereka membaca, memahami dan mengimplementasikan ide dan gagasan mereka. Yang pertama, kelompok Iqtishaduna. Kelompok ini memandang bahwa ekonomi konvensional yang berkembang selama ini bertolak belakang dengan inti dari ekonomi Islam, utamanya tentang ketiadaan scarcity dan solusi terhadap keterbatasan sumber daya. Maka dengan pandangan ini, antara ekonomi Islam dan konvensional tidak bisa disamakan karena perbedaan dalam sisi ontologi, epistemologi maupun aksiologinya. Kelompok kedua, mainstream. Kelompok ini menolak pandangan kelompok iqtishaduna. Menurutnya, inti masalah ekonomi adalah keterbatasan sumber daya adalah realitas dan menjadikan alternatif efesiensi sebagai cara menyelesaikan permasalahan ekonomi. Dan perbedaan dengan ekonomi konvensional terletak pada bagaimana manusia menggunakan pertimbangan dan dasar agama dalam interaksi ekonomi, bukan asas laissez-faire Adam Smith, Rivid Richardo dkk pada era ekonomi klasik. Kelompok ketiga Analitis-Kritis.Pandangan ini menolak pandangan kelompok pertama akan aspek filsafat ilmu ekonomi Islam yang sebenarnya tidak realistis dan tidak operasional sehingga hanya berkutat pada ide dan gagasan. Kelompok ini juga menolak kelompok kedua dengan menyatakan bahwa kelompok mainstream hanya hasil jiplakan dari ekonomi neoklasik dan hanya menambahkan variable riba. Untuk itu, perlu analisa kritis harus dilakukan tidak hanya pada sosialisme dan kapitalisme, tetapi juga pada ekonomi Islam itu sendiri. Tafsiran akan ekonomi Islam haruslah menjadi ruang diskusi dinamis sebagaimana makna tafsir itu sendiri.
Dari pandangan singkat ini, setidaknya memaksakan self wisdom ruang pemikiran kita ( kita dimana, dia dimana ) dalam melihat fenomena ekonomi. Bagaimana masing-masing kelompok memiliki pandangan yang berbeda dalam rangka membangun sinergitas penguatan ekonomi umat berbasis keadilan dan kesejahteraan. Kelompok pertama akan secara berkelanjutan melakukan riset ekonomi yang menghasilkan madzab ekonomi baru, kelompok kedua melakukan iktiar nyata dalam gerakan ekonomi implementatif, sedangkan kelompok ketiga senantiasa memberikan catatan kritis bagi kedua kelompok. Tentunya problem paradigma dan terminologis sudah terselesaikan di awal.
Semoga dengan catatan bisa menjadi refleksi dan daya dorong bagi penguatan ekonomi Islam. Aamin
Penulis: Ali Mujib, M.E.I