AMBAK (Apa Manfaatnya Bagiku?)

by | Dec 26, 2021 | Opini

Pertengahan tahun ini, kita telah menghadapi dua agenda akreditasi. Asesmen Lapangan Akreditasi Program Studi Pendidikan Agama Islam dan Akreditasi Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah. Sebelum dua agenda itu, ada Akreditasi Perguruan Tinggi.  

Jauh sebelum itu, untuk menyongsong dan menyukseskan agenda tersebut, semua dosen diminta untuk mengirimkan karya tulis masing-masing. “Tulis saja dulu judulnya, karya tulisnya disetorkan nanti menjelang akreditasi.” Begitulah kira-kira ‘kalimat rayuan’ yang ditulis tim sukses akreditasi di WAG dosen. 

Bagaimana hasilnya? Rayuan itu mungkin kurang manis, atau mungkin tim pengumpul data yang kurang gigih menagih. Hingga batas akhir, karya yang benar-benar dibutuhkan itu, ternyata tidak seperti harapan.  “Sing penting, akreditasi aman-lancar kan?.” Soal lancar atau tidak, tentu ini persoalan lain ya. Mengapa karya itu tidak bisa terkumpul? Apakah dosen tidak lagi menghasilkan karya tulis? Bukankah mereka wajib melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi? Apa alternatif solusi untuk memecahkan problem ini? 

Penulis tidak bermaksud menjawab pertanyaan itu semua. Anggap saja, pertanyaan itu sebagai pintu masuk dalam dunia perenungan. Bagi penulis, ini adalah persoalan motivasi. Bukan soal ketidakmampuan, dan bukan soal prioritas dan lainnya. Sekali lagi: motivasi.

Penulis  jadi teringat kata-kata Tum Desem Waringin. “Orang bisa sangat termotivasi, jika telah menemukan Big Why; alasan yang sangat kuat untuk melakukan sesuatu. Alasan yang sangat kuat hanya bersumber dari nikmat dan sengsara.” 

Secara naluriah, otak bawah sadar kita hanya mencari kenikmatan, dan menghindari kesengsaraan. Menurut Tum, sejak zaman dulu hingga sekarang ini, motivasi hanya bersumber dari dua hal. Pertama menghindari kesengsaraan, dan kedua mendapatkan kenikmatan. Dua hal inilah yang menyebabkan semua manusia bergerak melakukan segala sesuatu.

Tum lalu mencontohkan, zaman dulu, orang bisa berhasil melompati jurang yang sangat lebar karena dikejar hewan buas, padahal sebelumnya seperti tidak mungkin. Orang bisa melampaui batas-batas tertentu karena terancam, dan menghindarkan dirinya dari ancaman tersebut. Awalnya terasa tidak mungkin, ternyata karena diancam bisa tercapai.

Hal kedua adalah untuk mencari kenikmatan. Ini adalah salah satu yang mendasari seseorang bisa melakukan sesuatu, termotivasi untuk melakukan sesuatu. 

Mengapa orang mau berangkat miyang ke laut dengan resiko perahu pecah dan tenggelam? Siang harus berjuang melawan panasnya terik matahari. Malam harus melawan dinginnya angin laut.  Mengapa orang bersedia mengambil resiko berpisah dengan keluarga untuk menjadi TKI di luar negeri? Mengapa driver ojek online tetap menerima order, dan bersedia mengambil resiko tertular Covid? Kalau kita runut, tentu alasannya akan bermuara pada dua hal yang saya sebutkan di atas. Kalau tidak untuk mendapatkan kenikmatan, ya tentu saja untuk menghindarkan diri dari kesengsaraan.

Bahkan, kalau kita tarik ke ranah agama pun demikian. Agama kita mengenal konsep surga dan neraka. Surga yang dijanjikan oleh Tuhan menawarkan fasilitas kenikmatan yang tiada bandingnya di dunia. Sementara neraka menawarkan full fasilitas ancaman penyiksaan dan azab pedih nan tiada akhir. Baik surga maupun neraka, keduanya merupakan bahan bakar yang mampu menggerakkan seorang muslim untuk taat beribadah.

Hal yang lebih ekstrim, seorang ‘pengantin’ dari kelompok teroris rela meledakkan diri dengan bom bunuh diri, karena dicuci otaknya, sehingga mereka yakin akan mendapatkan 72 bidadari.

Konsep motivasi semacam ini sesuai dengan konsep AMBAK pada Quantum Teaching. Seorang guru harus mampu menumbuhkan AMBAK setiap siswanya. AMBAK merupakan akronim dari “Apa Manfaatnya Bagiku?” Siswa akan tergerak dan termotivasi jika menemukan jawaban konkrit berupa manfaat dari apa yang dipelajarinya. 

Karena AMBAK inilah, maka tidak heran jika dosen yang sudah lulus sertifikasi, bisa dengan rutin melaksanakan Tri Dharma PT. Mereka sukses melaksanakan pembelajaran, sukses meneliti dan menulis karya ilmiah dari penelitiannya, mereka juga sukses melakukan pengabdian kepada masyarakat. Mengapa demikian? Mereka paham betul nikmat dari manfaat pelaksanaan tri dharma. Mereka juga paham betul “ancaman” konsekuensi logis jika tidak melaksanakan Tri Dharma. Sedangkan dosen yang belum lulus sertifikasi, tidak mampu melaksanakan tri dharma dengan baik, karena kurang kuatnya AMBAK ini. 

AMBAK atau Big Why tiap dosen inilah yang harus menjadi perhatian untuk selalu ditingkatkan. Pilihannya hanya dua: mau mazhab malaikat Ridwan dengan menawarkan kenikmatan, ataukah mazhab Malaikat Malik melalui jalan ancaman. Semakin jelas dan semakin kongkrit Big Why/AMBAK itu, akan semakin greget dan semakin termotivasi. 

Pertanyaannya: Mazhab mana yang harus diambil oleh pimpinan untuk meningkatkan AMBAK Bapak/Ibu dosen agar sukses melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi secara rutin? Madzhab Malaikat Ridwan, ataukah Malik? []

Penulis; Zainul FUAD, M.Pd

Editor; Intihaul Khiyaroh, M.A